Thursday, June 2, 2016

Lihat, diam, jangan mendekat!




Hanya satu, dan kau bisa menerangi dunia, hanya satu dan kau bisa menghilangkan gelap
Yah kau bulan.. bulan pada malam hari. Berdiri kokoh bak prajurit yang tangguh.
Selamat malam.. tulisanku dimulai pada malam hari. Entah mengapa malam selalu membuatku memikirkanmu, mungkin karena waktu malam adalah waktu saat kita pertama bertemu.
Oke kali ini aku bercerita tentang cara mencintai yang baru kali ini bisa aku lakukan, dan bisa membuatku bertahan dengan cara seperti ini.
Cinta merupakan fitrah, ia suci dan sangat indah. Tak semua bisa merasakan cinta, mungkin mereka bilang itu cinta namun ternyata itu hanya hawa nafsu duniawi yang setan buat sedemikian rupa menyerupai cinta, tapi itu bukan cinta!
Malam selalu membuatku memikirkanmu, padahal sudah berapa kali aku berusaha untuk tidak ingat lagi kenangan kita, namun tetap nihil, kenangan itu terus hadir satu per satu, membuat kenangan itu menjadi cerita. Tapi aku harus sadar ini sudah terlambat.
Mari kita mulai..
Suatu tempat perbelanjaan yang sangat ramai pengunjung.. Aku, Sinta, dan Fandi berjalan bersama. Kami tiba di sebuah restaurant, karena kami sedang lapar. Tak ada yang istimewa dari kalimat pembuka ini. Yah kami makan, tertawa, dan bercerita. Dan apa sebenarnya yang ingin aku sampaikan?
Di tempat ini, ada kursi kosong di sampingku saat makan. Aku berbalik membelakangi pintu masuk restaurant ini, jadi aku tak melihat siapa-siapa baik yang datang maupun yang pergi. Eng ing eng..
Kau datang.. aku kembali melihatmu. Kau duduk di kursi sebelahku, walaupun tidak tepat di sebelahku. Kau asik berbicara dnegan Fandi, aku pun tak menghiraukanmu, tapi tahukah kau berapa kali jantungku berdebar kencang ketika dari sudut mataku benar-benar melihatmu lagi, ah lupakan~
Kau hanya sebentar, tak lama fandi pun pergi juga. Menyisahkan aku dan sinta. Setelah itu Aku kembali mengitari pusat perbelanjaan itu, kami berjalan, sambil menunggu acara di mulai. Cukup lama sampai hari hampir menjelang sore, lagi-lagi aku melihatmu dari lantai 2. Aku tersenyum sendiri melihat tingkahmu di atas panggung. Andai yang kau ceritakan itu adalah tentang kita. Ah lupakan~
Aku selalu senang melihatmu, walau itu hanya dari kejauhan. Tenang saja, aku tidak akan mendekat, karena ku tahu, kau akan pergi jika aku kembali mendekatimu. Tak ada sapaan tak ada guratan senyum untukku, saling berpura-pura tidak memerhatikan. Memilukan sekali~
Sorepun hadir namun belum menampakkan senja, aku pergi dari penglihatanmu, aku dan sinta melangkah menuju lantai tiga untuk menunaikan shalat ashar, dan ketika selesai, kudapati dirimu berdiri di dekat tangga. Dan kau seorang diri disana.
Ingin rasanya aku menghampirimu, membuka percakapan…
“mengapa kamu sendiri?”
“kau sudah shalat?”
“wah aksimu tadi keren sekali”  Dan banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Sekali lagi aku tak bisa mendekat, aku takut. Aku takut kau semakin jauh, bahkan hingga mata minusku tak mampu mencarimu lagi. Aku takkan membiarkan itu terjadi.
Cukup melihatmu dari jauh, aku sudah bahagia. Anggap saja ini hukuman bagiku dari masa lalu.
Aku dan sinta kembali menuruni anak tangga, sesekali mataku melihatmu, namun tetap kau sendiri diam, dan seperti memikirkan sesuatu.
Sampai pada lantai dasar, kau masih dengan posisi seperti itu, melihat ke bawah, diam, tanpa bicara. Entah ini ilusi atau nyata, entah aku yang berlebihan atau ini benar adanya.
Kau ingin menyapaku kan? Kau ingin berbicara dengan ku kan? Dan kau masih meragukan ku ? dan ilusi ilusi lain. Sampai aku turun, kau masih melihatku dari atas sana kan? Haha terlalu percaya diri~
Mungkin kau muak melihatku, mungkin kau tak ingin lagi menemuiku, mungkin kau ingin aku pergi dari hidupmu seperti dulu, dan banyak kemungkinan buruk yang selalu menghantuiku. Please help me! Berikan aku jawaban~
Kembali pada cinta~
Aku sadar bahwa aku tak seharusnya mengusikmu lagi, aku tak seharusnya menemuimu waktu itu jika benar-benar perasaan itu telah mati, percuma membendung jika arus itu semakin kuat dan bahkan membuat bendungan itu runtuh, percuma~
Dan kini aku hanya bisa tetap tinggal bersama puing kenangan, hanya menatap dari jauh, diam tanpa bahasa, dan tidak akan pernah mendekat, walau pertemuan itu selalu ada. Pertemuan itu akan selalu seperti itu, tidak berarti apa-apa bagimu.